Uncategorized

Ketika Sufi Berpolitik

Posted on Maret 4, 2009. Filed under: Uncategorized |

Kecuali pada abad-abad terakhir, orang-orang sufi jarang sekali bahkan bisa dikatakan tak pernah terlibat dalam arena politik dan kekuasaan. Politik, bagaimana pun pentingnya, tetap menjadi arena yang menakutkan bagi kaum suci yang tak punya banyak kepentingan duniawi ini.

“Siapa pun yang minum dari cawan kekuasaan, ia pasti terjatuh dari keikhlasaan seorang hamba,” begitulah pendirian para sufi. Kalimat bijak ini sangat besar artinya bagi kaum sufi. 

Al-Ghazali menjadikan pendirian ini sebagai satu pondasi dalam penemuan sifat ikhlas dalam diri seorang hamba. Keterlibatan dalam dunia politik akan sangat mengganggu kemurnian hati sang sufi.

Makanya cukup menarik ketika J. Spencer Brimingham malah menulis satu sub judul: “Peran Politik (Kelompok Sufi)” dalam bukunya The Sufi Orders in Islam. Orientalis asal Inggris itu secara khusus menulis aktivitas politik kaum sufi di berbagai belahan dunia.

Unik memang ketika seorang sufi berpolitik. Kekuasaan dapat melemparnya. Politik hampir menjadi dunia haram bagi sufi. Sikap sufi terhadap kekuasaan mirip dengan keputusan Buddha Gautama yang memilih meninggalkan kehidupan istana, lalu mengembara menyucikan diri.
Proses kesejarahan sufi Abad Pertengahan mungkin tidak banyak memunculkan peran politik sufi itu. Tapi, pada abad-abad berikutnya, sufi seringkali muncul sebagai gerakan politik, terutama pada akhir Abad 19 dan awal Abad 20, ketika umat Islam berada dalam cengkeraman imperialisme. 

Dale F. Eickelman dalam Muslims Politics bahkan melihat jaringan ordo sufi sebagai gerakan politik yang sangat penting pada masa-masa kolonialisme.
Imperialisme yang mencekik umat muslim pada abad-abad itu menyebabkan para darwis dengan berbagai afialiasi tarekat turun gunung. Mereka berjuang keras membebaskan negeri-negeri muslim dari penjajahan besar-besaran yang dilancarkan Eropa. 

Tarekat-tarekat sufi yang seringkali turun gunung misalnya, Qadiriyah, Tijaniyah, Naqsyabandiyah, Rifa’iyah dan Sanusiyah. Gerakan para sufi ini banyak mempunyai jasa dalam perjuangan politik negara-negara Islam di Afrika Utara (di bawah kolonialisme Eropa) dan Asia Tengah (di bawah cengkeraman kekuasan Tsar Rusia).

Imam Shamil, pemimpin ordo Naqsyabandiyah di Dagestan, bersama para pengikut tarekatnya terlibat dalam politik karena membendung imperium Rusia yang terus mencaplok negeri-negeri muslim di Kaukasus. Ia, bahkan, dianggap sebagai figur paling romantik di Abad 19.

Di Afrika Utara, gerakan politik sufi melawan kolonialisme banyak dimotori oleh tarekat Qadiriyah, Tijaniyah, dan Mahdiyah Sudan. Persaudaraan sufi (tarekat) ini menerapkan ikatan transnasional. Mereka punya jaringan luas yang tak terikat oleh batas-batas wilayah. Para penjajah di Aljazair sampai memandang gerakan-gerakan mereka sebagai konspirasi pan-Islam yang amat membahayakan. Memang, ordo sufi pada masa kolonialisme merupakan wadah paling potensial bagi aksi politik lintas-wilayah untuk membendung penjajahan.

Gerakan politik sufi pada masa penjajahan itu lebih mencerminkan sebagai panggilan perjuangan daripada perebutan kekuasaan. Keterlibatan berbagai ordo sufi dalam politik praktis adalah gerakan perlawanan atas kesewenang-wenangan.

Tapi, pasca kolonialisme Abad 19, para sufi tidak serta merta kembali naik gunung untuk menghindari “meminum sedikit air dari gelas kekuasaan” seperti diwarningkan al-Ghazali. Para sufi tetap punya kontribusi kuat dalam politik dan gerakan politik mereka sudah banyak mengalami peralihan bentuk dari sebuah perlawanan kepada kekuasaan dan kepentingan.

Di Sudan, semua anggota tarekat Tijaniyah secara resmi berafialiasi dengan Front Nasional Islam. Pilihan ini, bukan semata-semata kebijakan Tijaniyah lokal, tapi instruksi dari pusat ordo mereka di Senegal.

Meski demikian, pergulatan politik yang dimainkan oleh para sufi pasca kolonialisme tidak sepenuhnya punya tendensi kekuasaan. Politik yang dimainkan mereka lebih sering dipandang sebagai politik oposisional terhadap pemerintah yang berkuasa.
Posisi ini tentu saja merupakan konsekwensi persentuhan kaum sufi dengan otoritas politik. 
Mainstream oposisi sufi kira-kira mirip dengan posisi Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging dalam kekuasaan Raden Fatah di Demak Bintara. Dalam logika politik Radjasa Mu’tashim, Syekh Siti Jenar dianggap sebagai pembangkang karena ia mempunyai pengikut Ki Ageng Pengging yang merupakan keturunan Brawijaya (Majapahit) yang tentunya memiliki banyak pengaruh dan menjadi ancaman bagi kerajaan Demak.

Dalam khazanah sufi, bias politik Syekh Siti Jenar ini hampir sama dengan eksekusi al-Hallaj. Dalam tragedi pemancungan dan penyaliban al-Hallaj ditengarai ada agenda politik. Al-Hallaj oleh otoritas Baghdad dianggap sebagai pengikut gerakan politik Qaramithah, sayap politik Syiah Ismailiyah yang menyusup ke mana-mana.

Fenomena sufi di awal Abad 19 dan akhir Abad 20 memang banyak diwarnai oleh gerakan politik. Dan itu terjadi serentak, sehingga banyak yang memandang bahwa gerakan politik mereka tidak sekedar bentuk reaksi yang mencuat kemudian hilang. Kelompok sufi terutama di Afrika Utara dan Asia Tengah telah memiliki jaringan politik yang hierarkis dan valid.
Meski hal ini tidak sepenuhnya fenomena baru, tapi dunia sufi “secara serentak”rupanya juga mengalami pergeseran cara pandang terhadap politik: dari sikap awal yang apolitik, lalu perlawanan politik terhadap kolonial, politik oposisional, lalu politik kekuasaan. 

Semua tahap politik sufi tersebut sebetulnya memiliki rujukan historis dengan masa lampau. Sejarah sufi Abad Pertengahan tidak mutlak memiliki cara pandang yang anti politik. Para syekh sufi punya andil besar dalam perebutan kota Konstantinopel dari otoritas Romawi. Pada Era Perang Salib, kaum sufi juga banyak turun gunung untuk membantu Shalahuddin al-Ayyubi menghadapi agresi tentara Salib.

Berdirinya Dinasti Safawi di Persia juga karena revolusi politik kaum sufi. Pada awal Abad 16, tarekat Safawiyah yang beraliran Syiah berhasil merebut kota Tabriz dari tangan orang-orang Turki. Mereka mendirikan kerajaan Safawi yang kemudian menjadi kerajaan raksasa di Persia. Hal ini, tercatat sebagai aksi politik sufi paling besar dan ekstrem di Abad Pertengahan.

Semua itu menjadi ilustrasi unik. Sufi yang dipandang sebagai kelompok paling asketis, memiliki keterlibatan lumayan besar dalam percaturan politik. Dalam kacamata prinsip-aksi, ini adalah bentuk ambivalensi. Tapi, dalam sudut pandang yang berbeda, hal ini adalah bentuk pembumian sufi: sufi yang tidak hidup asing di menara gading atau gua-gua sunyi; sufi yang tidak kaku dengan ajaran formal tarekatnya. Tapi, sufi yang juga terimbas oleh transformasi sosial-politik lokal maupun global.taq/ad

Sumber : Republika

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Kondisi Ekonomi Masyarakat

Posted on Maret 4, 2009. Filed under: Uncategorized |

Kesukaran yang dihadapi oleh golongan berpendapatan rendah dan kurang bernasib baik, berikutan kenaikan kos sara hidup, memang telah sedia maklum oleh semua pihak.

Pelbagai usaha telah dijalankan sama ada swasta, organisasi bukan kerajaan (NGO) dan kerajaan dalam usaha mengurangkan beban golongan berkenaan dalam menghadapi situasi ini.

Malah, usaha mengurangkan kesan kenaikan kos sara hidup bagi golongan tersebut termasuk mangsa bencana dibuat menerusi Jaringan Keselamatan Sosial (JKS), yang telah diperbesar di bawah Bajet 2009.

Masih ramai dalam kalangan kita kurang pasti apa yang dimaksudkan dengan JKS yang menjadi dasar Bajet 2009 seperti yang diumumkan oleh Perdana Menteri, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi.

Menteri Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat, Datuk Seri Dr. Ng Yen Yen ketika ditemubual dalam wawancara oleh Radio24 Bernama berkata, program JKS bertujuan menentukan segenap lapisan masyarakat di negara ini tanpa mengira status ekonomi menjalani kehidupan yang selesa dan mendapat manfaat daripada pembangunan negara.

Katanya, peruntukan bagi program itu pada tahun ini juga telah ditambah sebanyak RM500 juta lagi sekali gus menjadikan jumlah besarnya RM800 juta berbanding hanya RM300 juta bagi tahun 2007 dan tahun lalu.

Beliau berkata, penambahan peruntukan itu akan memberi manfaat kepada 110,000 keluarga miskin di seluruh negara.

“Misalnya, bagi warga emas yang berumur 60 tahun ke atas dan tiada yang menjaga, mereka boleh mendaftar terus dengan kementerian saya bagi membolehkan mereka mendapat bantuan sara hidup sebanyak RM300 sebulan.

“Bagi kanak-kanak dari keluarga miskin pula, mereka akan diberikan bantuan RM100 sebulan dan tidak melebihi RM400 sekeluarga,” katanya sambil menambah bahawa bantuan yang diberikan itu merupakan bantuan sara hidup asas.

Dengan adanya program itu nanti, tidak ada lagi sebab mengapa kanak-kanak dari keluarga miskin dinafikan hak mereka untuk bersekolah atau orang miskin yang sakit terbiar tanpa mendapat rawatan.

Penglibatan pelbagai kementerian

Dalam Bajet 2009, kerajaan menyediakan pelbagai bantuan dan kemudahan dengan memberikan penekanan kepada kebajikan rakyat.

Menurut Abdullah, kerajaan bersedia bertindak untuk meringankan beban setiap lapisan masyarakat, khususnya golongan berpendapatan rendah dan kurang bernasib baik menerusi JKS.

Ia meliputi perkhidmatan seperti kebajikan, perubatan, faedah pengangguran, pusat perlindungan dan kadangkala subsidi dalam membantu golongan berkenaan menghadapi cabaran inflasi.

Dari segi ekonomi pula, ia bertujuan mengagihkan pendapatan dan sumber kepada golongan masyarakat yang memerlukan serta membantu mengatasi kemiskinan untuk jangka pendek.

Ng juga berkata, program itu dilaksanakan menerusi penglibatan secara langsung oleh Kementerian Kewangan, Kementerian Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat, Kementerian Pelajaran, Kementerian Kesihatan, Kementerian Perumahan dan Kerajaan Tempatan, Kementerian Pertanian dan Industri Asas Tani dan Kementerian Kemajuan Luar Bandar dan Wilayah.

Keluarga dan masyarakat

Untuk meluaskan JKS bagi kumpulan sasar di bawah Kementerian Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat (KPWKM), kerajaan telah menaikkan tahap kelayakan pendapatan isi rumah bagi pemberian bantuan kebajikan di bawah Jabatan Kebajikan Masyarakat (JKM) daripada RM400 sebulan kepada tahap Pendapatan Garis Kemiskinan (PGK) semasa, iaitu RM720 sebulan bagi Semenanjung, RM830 sebulan bagi Sarawak dan RM960 sebulan bagi Sabah.

“Ini bermakna bilangan penerima bantuan meningkat dua kali ganda daripada 54,000 isi rumah kepada 110,000,” kata Abdullah semasa membentangkan Bajet 2009.

Beliau berkata, ini termasuk kenaikan bilangan warga emas yang layak daripada 14,000 kepada 40,000 dan untuk tujuan itu, perbelanjaan tambahan sebanyak RM500 juta diperuntukkan.

Kerajaan, katanya, menyediakan tabung bantuan khas sebanyak RM25 juta bagi menyalurkan pemberian kewangan kepada keluarga yang kehilangan punca pendapatan secara mengejut, seperti akibat kemalangan dan bencana.

Pertanian

Di bawah JKS ini juga golongan petani dan nelayan diberikan pembelaan di mana sejumlah RM300 juta diperuntukkan.

Sejumlah RM180 juta adalah untuk menampung sara hidup nelayan dan pemilik bot perikanan manakala RM120 juta sebagai insentif tangkapan ikan.

Bagi meningkatkan kehidupan petani juga, elaun pelaburan semula sebanyak 60 peratus untuk tempoh 15 tahun bagi pelaburan tambahan bagi penternak ayam dan itik.

Selain peruntukan sejumlah RM475 juta bagi bantuan input pertanian, baja dan racun perosak bagi pengusaha sawah turut disediakan. –

 

Sumber Berita : Bernama – Malaysia

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Kontras Kampanye Anti-Penghilangan Orang Secara Paksa

Posted on Agustus 20, 2008. Filed under: Uncategorized |

19 Agustus 2008 | 10:43 WIB

 

 

 

Banda Aceh ( Berita ) :  Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) akan menggelar pekan kampanye anti-penghilangan orang secara paksa mulai 19-24 Agustus 2008 di Banda Aceh.

Koordinator KontraS Aceh, Asiah Uzia di Banda Aceh, Senin [18/08], menyatakan, kegiatan yang digelar dalam rangka memperingati hari anti penghilangan orang secara paksa se dunia itu akan dihadiri 40 keluarga korban orang hilang dari seluruh Aceh.

Kampanye itu direncanakan akan dibuka oleh Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar di Taman Budaya Banda Aceh. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi publik bertema “Mendorong tanggung jawab negara dalam menyelesaikan kasus-kasus penghilangan paksa di Aceh”.

Diskusi akan menghadirkan Ifdal Kasim (Ketua Komnas HAM), Mugiyanto (Presiden AFAD-Federasi Melawan Penghilangan Paksa se-Asia) dan Afridal Darmi (Direktur LBH Banda Aceh).

Asiah menyatakan, tujuan digelarnya kegiatan itu sebagai bagian dari advokasi untuk menemukan titik terang terhadap keberadaan ratusan orang yang hilang akibat konflik bersenjata di Aceh.

 Dan pekan kampanye ini merupakan titik start KontraS Aceh dan beberapa organisasi korban pelanggaran HAM yang terlibat dalam kegiatan ini dalam mendorong pertanggungjawaban negara sampai adanya kejelasan tentang keberadaan mereka, setelah ditangkap atau diculik aparat negara dan aktor lainnya.

Asiah mengatakan, penghilangan orang secara paksa merupakan salah satu bentuk kejahatan HAM yang bersifat serius.

Hal ini juga yang mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mensahkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Setiap Orang dari Penghilangan Paksa pada tanggal 20 Desember 2006.

Dalam konteks nasional, meskipun Indonesia belum memiliki political will untuk meratifikasi konvensi tersebut, namun secara tegas mengakui tindakan penghilangan paksa sebagai pelanggaran HAM, sebagaimana yang dijabarkan dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, katanya.

KontraS Aceh meyakini kasus penghilangan paksa merupakan salah satu pelanggaran HAM yang terjadi secara meluas pada saat operasi militer diterapkan di Aceh.

Hal ini bisa dilihat dari data yang berhasil dikumpulkan berbagai lembaga HAM yang bergerak di Aceh sejak menguatnya konflik bersenjata.

Hasil kompilasi data beberapa lembaga HAM menyebutkan sekurang-kurangnya ditemukan sebanyak 721 kasus orang hilang semasa konflik Aceh. Dan dari angka tersebut, KontraS Aceh telah memverifikasi sebanyak 93 kasus sejak bulan Januari s/d Juli 2008 yang tersebar di 10 kabupaten di Aceh.

Asiah menambahkan penghilangan paksa atau kasus orang hilang, merupakan bentuk kejahatan yang masih berlanjut (continuing crime), sebelum diperoleh kepastian tentang keberadaan korban. Namun cukup disesali sampai dengan tiga tahun perdamaian Aceh terwujud, pemerintah melalui instansi berwenang Komnas HAM belum melakukan tindakan yang serius untuk mengusut tuntas kasus-kasus penghilangan paksa yang terjadi.

Meskipun lembaga resmi negara ini telah menerima sejumlah pengaduan dari keluarga korban, bahkan Komnas HAM juga telah melakukan beberapa penyelidikan awal terhadap kasus-kasus penghilangan paksa pada masa darurat militer, dan kasus-kasus penghilangan paksa yang terjadi pada masa DOM (Daerah Operasi Militer), ujarnya.

Dalam melaksanakan kegiatan kampanye, KontraS Aceh bekerjasama dengan lima organisasi korban pelanggaran HAM Aceh yaitu SPKP HAM Aceh, K2HAU Aceh Utara, KKP HAM Aceh Besar, K3BM Bener Meriah dan SKOP HAM Bireun.

Rangkaian kegiatan tersebut juga diisi dengan dengar pendapat  dan diskusi keluarga korban dengan partai politik (parpol) lokal dan parpol nasional ke DPRA, penyerahan dokumen laporan kasus penghilangan orang secara paksa di Aceh secara resmi kepada Komnas HAM Aceh.

 

Sumber : Antara dan Berita Sore

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

EXXON TERLIBAT PELANGGARAN HAM

Posted on Agustus 17, 2008. Filed under: Hak Azasi Manusia, Uncategorized |

Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan Exxon Mobil melanggar HAM berat di Aceh. Gergasi minyak dan gas ini terlibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan yang melindungi operasi perusahaan ini di Aceh. Kasus ini berawal dari seringnya terjadi aksi kekerasan terhadap warga di sekitar kompleks Exxon Mobil di Lhokseumawe NAD pada masa pelaksanaan Daerah Operasi Militer di Aceh.

Beberapa aktivis SIRA termasuk Faisal Ridha yang kala itu menjabat sebagai Anggota Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) berkumpul dan berdiskusi untuk membicarakan keterkaitan Exxon Mobil dengan peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut. “Seringkali terjadi kasus penyiksaan, pembunuhan, penculikan, dan pemerkosaan yang dilakukan aparat keamanan Indonesia yang menjaga ladang gas Exxon Mobil,” kata Faisal yang kini menjabat sebagai asisten gubernur NAD.
Aktifitas diskusi dan pengumpulan data ini dilakukan secara sangat rahasia dengan alasan keamanan. “Exxon adalah korporasi besar dan mereka bisa membayar militer
Indonesia kala itu untuk melakukan apapun terhadap orang yang dianggap bertentangan,” jelas Ketua Departemen Hubungan Internasional di DPP Partai SIRA Helmy Nugraha.
Salah satu contoh kasus pelanggaran HAM itu terjadi pada bulan Januari 2001. Pada suatu pagi seorang pedagang sayur melintas di depan Kompleks Exxon Mobil yang dijaga sekelompok tentara. Si pedagang yang dirahasiakan namanya dengan inisial “John Doe I” sedang dalam perjalanan dengan mengendarai sepeda menuju ke pasar untuk berdagang. Entah kenapa tiba-tiba ia dihampiri oleh beberapa prajurit TNI Unit 113 yang tugas jaga di Exxon Mobil. Tanpa sebab yang jelas, mereka lalu menembak tangannya dan melemparkan granat ke arahnya, lalu meninggalkan korban dalam keadaan tak bernyawa. “Selama sembilan tahun DOM kamp Rancong dan Pos A 13 yang berada di kawasan Exxon adalah gerbang kematian bagi rakyat Acheh,” kata Helmy yang kala kasus itu meletus belum terlibat dalam kasus ini.
Faisal dan aktivis SIRA lainnya lalu mencoba kemungkinan untuk melakukan gugatan terhadap Exxon. Karena tak mungkin mengajukan gugatan itu di
Indonesia, mereka mencoba membawanya ke luar negeri. Isu ini lalu digaungkan ke dunia internasional yang kemudian direspon oleh International Labor Right Fund (ILRF) –sebuah organisasi hak asasi manusia yang bermarkas di Washington DC– dengan mengirimkan pengacara utamanya Terry Collingsworth untuk mengunjungi Aceh guna mengumpulkan bukti-bukti pada bulan Maret 2001.
Berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan tersebut, 11 korban dan ahli waris korban yang diwakili oleh ILRF mengajukan gugatan ke Pengadilan Federal Washington yang memulai sidangnya sejak bulan Mei 2002. Tuduhannya, Exxon Mobil terlibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan yang melindungi operasi perusahaan ini di Aceh. “UU yang digunakan adalah Alien Tort Claim Act yan memungkinkan warga asing untuk menggugat perusahaan Amerika Serikat karena pelanggaran HAM,” kata Faisal.
Pada bulan Mei 2002 majelis hakim memenangkan gugatan ini. Namun Exxon yang tak terima dengan keputusan tersebut menyatakan banding ke pengadilan tinggi
Washington. Bulan Juni 2006 keluar keputusan dari pengadilan tinggi yang menyatakan Exxon tetap bersalah. Tak puas, Exxon maju ke tingkat Mahkamah Washington. Hasilnya, pada 15 Juni 2008 lalu Mahkamah Washington menguatkan keputusan pengadilan di tingkat sebelumnya. Raksasa migas itu dinyatakan terbukti terlibat dalam pelanggaran HAM Berat di Aceh. Namun hingga proses peradilan rupanya belum juga tuntas. Pasalnya hakim mahkamah belum memutuskan jumlah kompensasi yang mereka bayar kepada korban atau keluarga korban. “Majelis Hakim Agung Washington masih menghitung nilai yang harus dibayarkan Exxon Mobil kepada 11 Penggugat,” terang Helmy.
Tak mudah memang bagi majelis hakim untuk memutuskan kompensasi yang diberikan kepada para penggugat. Pasalnya jumlah kompensasi itu diperkirakan mencapai miliaran dollar. “Berdasarkan informasi yang saya terima dari tim pengacara, ada kasus sejenis yang baru selesai belasan tahun,” kata Faisal. Meski begitu ia optimis mahkamah agung dapat memutuskan masalah ini secara adil mengingat track record hakim Amerika pada pengadilan terdahulu.
Hingga saat ini identitas ke 11 penggugat ini sengaja dirahasiakan dengan alasan keamanan. Serupa dengan kasus gugatan korban HAM lainnya, korban HAM umumnya adalah pihak yang memang lemah dan rentan untuk terkena intimidasi atau upaya negatif dalam usaha menghentikan kasus oleh pihak tergugat. “Nama mereka harus dirahasiakan, data mereka disembunyikan. Yang boleh mengetahui, hanya pengacara penggugat dan pengadilan,” kata Helmy.
Dalam
surat gugatan, mereka menggunakan inisial John Joe dan Jane Joe. Di Amerika Serikat, seseorang yang tidak dikenal identitasnya disebut dengan nama John Doe. Dan bila seseorang yang tidak dikenal identitasnya itu adalah seorang wanita maka disebut sebagai Jane Doe.
Sejatinya, upaya menggalang dukungan atas kasus ini di luar forum pengadilan juga dilakukan oleh kalangan pergerakan Aceh di luar negeri. Konsulat SIRA Amerika Serikat yang diketuai Munawar Liza Zein –sekarang Walikota Sabang– pada tahun 2004 sempat mengadakan seminar yang memaparkan fakta mengenai keterlibatan Exxon, kepada para pemegang Saham Exxon di Texas. Dalam forum itu kata Helmy, para pemegang saham tersebut menyatakan tidak sepakat dengan tindakan Exxon dan mendukung upaya-upaya penghentian suply Exxon kepada TNI. Namun tak jelas juga apakah ini ditelurkan dalam kebijakan perusahaan atau tidak. “Lebih lanjut silahkan konfirmasi ke Exxon apakah itu dibicarakan dalam rapat pemegang saham atau tidak,” tuturnya.

Atas putusan MA AS ini, Communication Manager Exxon Mobil Deva Rachman, mengaku sangat prihatin. Menurutnya, karena dalam hal keamanan di sekitar pabrik sebenarnya bukan tanggung-jawab Exxon. “Tapi tentu saja kami ingin menegaskan dalam hal operasional Exxon Mobil sangat menjunjung tinggi HAM. Ini berlaku baik untuk internal karyawan kami maupun masyarakat sekitar,” tutur Deva. Sayangnya ia tak mau berkomentar lebih jauh dengan alasan kasus tersebut ditangani Exxon pusat.
<!–[if !supportLineBreakNewLine]–>
<!–[endif]–>

Inspirasi Bagi Perjuangan HAM

Keterlibatan Exxon ini tak lain karena memberikan jatah pengamanan proyek kepada TNI. Ini tak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga terjadi di daerah lain seperti Papua dan Kalimantan. Berdasarkan data dari Kontras Aceh Exxon memberikan subsidi kepada 17 pos kesatuan aparat. Exxon mengeluarkan Rp 5 milyar untuk dana keamanan, termasuk uang saku Rp 40 ribu per prajurit per hari, transportasi, penyediaan kantor, pos, barak, radio, telepon, dan mess.
Lembaga ini juga menyatakan Exxon membeli “kendaraan Militer” sebanyak 16 unit mobil anti peluru, jenis Jeep, Chevrolet Suburbn, Toyota Land Cruiser, Land Rover, Defender Gearbox dan mercedez yang harganya berkisar Rp. 1 Miliar hingga Rp. 3 Miliar/unit untuk keperluan militer. “Data-data ini diajukan sebagai alat bukti oleh pengacara penggugat di pengadilan,” kata Helmy.
Direktur International Forum For Acheh Robert Jeresky dalam laporannya tertanggal 25 Juni 2001, menyebut kekerasan makin menggila setelah Exxon Mobil menekan pemerintah melahirkan Inpres No.IV/2001 dan menyebut GAM sebagai gerakan separatis. “Semoga kemenangan ini dapat menjadi inspirasi bagi perjuangan penegakan HAM di tingkat nasional,” harapnya.

Sumber : Dalam versi yang berbeda, tulisan ini diterbitkan di Majalah TRUST Edisi 39 Th. VI

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Selama Tiga Tahun Belum Ada Perdamaian Aceh

Posted on Agustus 17, 2008. Filed under: Uncategorized |

Oleh : Aldy Hoki

15-Aug-2008, 12:22:27 WIB – [http://www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia – Tiga tahun sudah perdamaian di Aceh sejak di tanda tangani di Helsinki, Finlandia pada 15 agustus 2005 berjalan, tapi masih tetap saja pengadilan Hak Asasi Manusia yang di janjikan akan di bentuk untuk Aceh belum juga lahir. Anngota GAM masih di terus di tahan di penjara- penjara Indonesia, Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) hingga kinin belum juga di betulkan kembali sesuai amanah MoU, UU tentang penyelenggaraan Pemerintah di Aceh masih terus di perdebat di jakarta, salah satunya dengan percubaan mendukung kegiatan pembentukan propinsi baru di Aceh, jelas sekali dalam artikel MoU disebut, 1.1.4.perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 juli 1956.Bagi warga Aceh, perdamaian bukanlah halaman terakhir dari apa yang telah terjadi sehingga kita hanya perlu melihat kedepan dan melupakan apa yang pernah terjadi di belakang.

Perdamaian yang kuat haruslah memenuhi semua kriteria yang telah di sepakati bersama oleh pihak yang telah menandatangani perjanjian Nota Kesepahaman tersebut.Perdamaian Aceh bukan hanya memotong senjata GAM ( Gerakan Aceh Merdeka ), tapi damai yang menyeluruh agar damai bisa berkelanjutan dan berberkekalan.

Damai Jangan setengah-setengah, karena ini akan sangat berbahaya terhadap masa depan Aceh dan generasinya.Warga Aceh menginginkan perdamaian Aceh di rasakan oleh seluruh rakyatnya, warga juga berharap perdamaian ini tidak di perdagangkan untuk kepetingan tertentu, sehingga nantinya bisa terlihat ada pelaksanaan di Aceh yang tidak sesuai dengan perjanjian di Finlandia, ini yang di khawatirkan oleh warga disana.

Maka dengan itu warga Aceh meminta kepada semua pihak yang terlibat dengan perdamaian Aceh untuk menuntaskan Proses damai Aceh sesuai dengan artikel-artikel yang telah di tuangkan dalam MoU, tidak terlalu dini untuk dikatakan sudah masanya meluruskan semua yang keliru atau yang tidak sesuai dengan MoU.Kepada seluruh Rakyat Aceh agar tetap memelihara perdamaian sekaligus mengontrol pelaksanaan prosesnya agar Perdamaian Aceh sesuai dengan perjanjian dan berada pada garisnya.

Dalamm kesempatan ini, kami atas nama World Acehnese Association ( WAA ) mengucapkan selamat tiga tahun Perdamaian Aceh,  semoga perdamaian ini terus berkekalan dan menjadi medan tempur baru untuk rakyat Aceh dalam berusaha agar tercapainya cita-cita besar yang telah kita perjuangkan sejak sekian lama, yaitu hidup sejahtera, aman dan damai, bebas, demokrasi dan mandiri. 

Penulis: Mukarram di Aceh

Sumber :[http://www.kabarindonesia.com]

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Ijin Tinggal Warga Aceh di Malaysia Jatuh Tanggal?

Posted on Agustus 17, 2008. Filed under: Uncategorized |

24,000 warga Aceh tengah menghadapi dilema. Ijin tinggal sementara IMM 13 yang dikenal dengan nama Kartu Tsunami berakhir Agustus 2008 dan hingga kini masih belum jelas statusnya.

 

Warga Aceh pemegang apa yang disebut kartu Tsunami telah tiga tahun menikmati fasilitas ijin tinggal dan bekerja sementar di Malaysia. Setelah mengalami sekali perpanjangan, ijin tinggal tersebut berakhir pada tahun ini.

Ibnu Sakdan Abubakar adalah aktifis Aceh dari PAJAN, Peace and Justice for Action menerangkan: “Mereka sudah jatuh tempo pada bulan Agustus ini. Ini sudah pertengahan Agustus? Tapi sampai saat ini belum ada seorang pun diantara mereka yang cardnya berakhir pada bulan Agustus diapnggil oleh pihak keimigrasian Malaysia. Jumlahnya ada sekitar 300 orang. Pemegang awal itu sebetulnya”.

Pemegang ijin tinggal sementara IMM 13 adalah warga Aceh yang mengungsi ke semenanjung Malaysia saat berkecamuknya konflik. Tadinya, mereka dibawah perlindungan UNHCR, yaitu badan PBB yang mengurusi pengungsi. Pasca perjanjian damai di Helsinki, status warga Aceh yang mengungsi itu berubah dan tidak lagi dibawah pengawasan dan perlindungan PBB. Kartu tinggal sementara itupun tidak berlaku lagi dan UNHCR menyerahkan masalah ini pada pemerintah Malaysia.

Bencana Tsunami yang menimpa Aceh, mendorong pemerintah Malaysia untuk memberi ijin tinggal sementara selama 2 tahun atas pertimbangan kemanusiaan. Karenanya kartu ini secara populer disebut kartu Tsunami.  Menurut Ibnu Sakdan: „Setelah kejadian Tsunami, baru dikeluarkan card IMM ini, banyak pihak yang memanggil card IMM 13  ini dengan kartu Tsunami“

Teorinya, setelah habis masa berlakunya, pemilik kartu Tsunami diharapkan untuk kembali ke Aceh. Namun beberapa pihak ternyata  tidak sependapat. Kembali Ibnu Sakdan menerangkan: „Ada beberapa pihak yang tidak mau kembali ke Indonesia atas beberapa dasar keselamatan. Katanya proses yang terjadi di Helsinki itu tidak sepenuhnya mewakili masyarakat Aceh”

Sementara itu, pemerintah Indonesia terus mengadakan pendekatan pada pemerintah Malaysia untuk mencari jalan keluar dan memperpanjang ijin tinggal warga Aceh sekali lagi. Seperti dipaparkan Sekretaris I Penerangan dan Humas Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Eka A Suripto: “Begini, mengenai kartu Tsunami sudah ada pembicaraan beberapa kali antara kedua belah pihak Indonesia dan Malaysia tentang kemungkinan diperpanjang kartu Tsunami tersebut. Kalau tidak salah, hal itu sudah dimungkinkan bahwa kartu tersebut sudah diperpanjang”

Situasi politik Malaysia yang tengah menghangat merupakan salah satu alasan mengapa masalah ini belum menunjukkan tanda-tanda positif. Eka Suripto:„Kami belum mendengar ada pengumuman resmi. Selain pendekatan dari pemerintah pusat dengan kerajaan Malaysia dari Aceh sendiripun sudah mendatangi pemerintah Malaysia unntuk membicarakan masalah tersebut. Mereka setuju untuk mendukung memperpanjang kartu tersebut tapi durasi perpanjangan kartu tersebut kamipun belum tahu persisnya. Ini kan bukan untuk selamanya .“

Bila masalah ini tidak mengalami kejelasan dan ijin tinggal tersebut tidak diperpanjang, maka puluhan ribu warga Aceh akan menghadapi ancaman deportasi besar-besaran (ek). 

 

 

 

Miranti Hirschmann

Sumber : Radio Suara German, DW – WORLD Deutche Welle

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

SURAT TERBUKA KEPADA DR. MAHATHIR MOHAMAD

Posted on Juli 2, 2008. Filed under: Rampoe, Uncategorized |

 

( Sumber : Neza Patria)

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Soalan tentang wartawan jadi tanda tanya

Posted on Juli 19, 2007. Filed under: Uncategorized |

SHAH ALAM 18 Julai – Apakah tujuan pihak pendakwaan begitu ‘berminat’ untuk mengetahui sama ada wartawan turut berada di kawasan belukar tempat cebisan daging Altantuya Shaariibuuu dijumpai, menimbulkan tanda tanya.

‘Minat’ untuk mengetahui kehadiran media terserlah apabila Timbalan Pendakwa Raya, Tun Abdul Majid Tun Hamzah beria-ia mengajukan soalan mengenai kehadiran wartawan di tempat kejadian antara dua atau tiga kali kepada saksi yang memberikan keterangan di Mahkamah Tinggi di sini hari ini.

Tun Abdul Majid: “Siapa lagi yang hadir bersama pihak polis. Ada atau tidak orang awam atau pun reporter di situ?”

Pegawai Turus Siasatan Khas Ibu Pejabat Polis Kontinjen (IPK) Kuala Lumpur, Supritendan Zainol Samah, 42, berkata: “Ada orang lain tetapi saya tidak pasti siapa mereka.”

Tun Abdul Majid: “Kamu kata tertuduh pertama, Cif Inspektor Azilah Hadri dan tertuduh kedua, Koperal Sirul Azhar Umar, Deputi Supritendan Gan Tack Guan dan Asisten Supritendan Tonny Lunggan berada di lokasi. Adakah pemberita turut berada di sana?”

Zainol: “Tidak ada.”

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Sirul bawa polis ke lokasi Altantuya diletupkan

Posted on Juli 19, 2007. Filed under: Uncategorized |

Mohd. Zaki Md. Yasin (bertali leher) melawat tempat di mana Altantuya Shaariibuu dibunuh dan diletupkan pada hari ke-21 perbicaraan kes pembunuhan wanita Mongolia itu di Puncak Alam, Shah Alam, Selangor, semalam.


SHAH ALAM 18 Julai – Koperal Sirul Azhar Umar yang membawa polis ke kawasan belukar di atas bukit antara Puncak Alam dan Puncak Perdana telah menunjukkan lokasi wanita Mongolia, Altantuya Shaariibuu diletupkan di pinggir sebuah kawasan lapang di situ.

Pegawai Turus Siasatan Khas, Ibu Pejabat Polis Kontinjen (IPK) Kuala Lumpur, Supritendan Zainol Samah, 42, ketika menyambung keterangan di Mahkamah Tinggi di sini hari ini berkata, tempat kejadian yang ditunjukkan oleh Sirul Azhar ialah di pinggir kawasan lapang yang terdapat hutan nipis (belukar).

Sirul Azhar menunjukkan lokasi sebenar Altantuya menemui ajalnya kepada Asisten Supritendan, Tonny Lunggan.

“Lebih kurang pukul 7.10 malam, 6 November 2006 Asisten Supritendan Tonny Lunggan telah menghubungi saya melalui telefon bimbit dan mengatakan bahawa mereka telah jumpa tempat kejadian. Kawasan tersebut di lorong kiri dan kanan terdapat hutan muda (belukar),” kata saksi pendakwa ke-19.

Diminta supaya menceritakan dari awal rombongan sampai, menurut Zainol, keadaan sekeliling di kawasan tersebut memang sudah gelap hingga terpaksa menggunakan lampu kenderaan.

Sehubungan itu, beliau telah meminta pemandu kenderaan pacuan empat roda polis supaya turun membawa beliau dan Supritendan Amidon naik ke atas bukit tersebut.

Timbalan Pendakwa Raya, Tun Abdul Majid bertanya: “Ke manakah kamu pergi selepas itu?”

Zainol: “Kenderaan menaiki bukit sehingga sampai di suatu kawasan lapang. Kemudian, saya turun dari Pajero tersebut. ASP Tonny telah memberi taklimat kepada saya. Di pinggir kawasan lapang itu, ada hutan nipis (belukar). ASP Tonny membawa dan menunjukkan tempat kejadian di pinggir kawasan lapang.”

Selain Sirul Azhar, polis turut membawa tertuduh pertama, Cif Inspektor Azilah Hadri ke lokasi kejadian.

“Tonny menunjukkan kepada kami secara am sahaja. Kami berada di sana lebih kurang 30 minit sebelum bertolak semula ke IPK Kuala Lumpur pukul 8 malam,” ujar beliau.

Dalam soalan lain yang diajukan oleh Tun Abdul Majid, Zainol menjelaskan bahawa sebelum tiba di tempat kejadian, beliau tidak nampak Azilah.

“Bagaimanapun, masa saya sampai, saya lihat Cif Inspektor Koh Kay Chow, ASP Tonny Lunggan dan Azilah sudah berada di situ,” kata saksi.

Terdahulu, sejurus prosiding sesi pagi dimulakan, Tun Abdul Majid memaklumkan kepada mahkamah, memandangkan keterangan saksi-saksi seterusnya berkisar mengenai tempat kejadian, pihak pendakwaan berpendapat adalah wajar mahkamah membuat lawatan.

Ini untuk mendapatkan gambaran sebenar lokasi-lokasi yang disebutkan oleh saksi.

Saksi itu yang disoal balas oleh peguam Hazman Ahmad memberitahu bahawa pada awalnya, hanya Azilah yang ditahan untuk membantu siasatan.

“Suspek kedua yang ditahan ialah Koperal Sirul Azhar dan kemudiannya, penganalisis politik, Abdul Razak Abdullah (Razak Baginda),” ujar beliau.

Hazman kemudiannya menyoal saksi mengenai tangkapan ke atas Lans Koperal Rohaniza Roslan (bekas teman wanita Azilah), adakah wanita tersebut juga dianggap sebagai suspek.

Menurut Zainol, Rohaniza tidak dianggap sebagai suspek.

Hakim Mohd. Zaki Md. Yasin yang mendengar prosiding masuk hari ke-21 hari ini, bertanya: “Rohaniza bukan suspek?”

Zainol menjelaskan, pada mulanya, Rohaniza ditangkap kerana dia ada bersama Azilah.

Namun setelah siasatan dijalankan, tambah saksi, didapati Rohaniza tidak terlibat.

Mendengar jawapan tersebut, Hazman terus bertanya untuk mendapatkan kepastian sama ada Rohaniza seorang suspek atau sebaliknya ketika dia ditahan reman untuk membantu siasatan kes pembunuhan Altantuya.

Pada mulanya Rohaniza ditahan sebagai suspek, kata saksi.

Jawapan tersebut membuatkan Hakim Mohd. Zaki pula bertanya kepada Zainol: “Pihak polis boleh menangkap orang sesuka hati kalau bukan sebagai seorang suspek.”

Saksi: “Pada mulanya sebagai suspek.”

Beliau memberitahu bahawa dua lagi suspek iaitu penyiasat persendirian (yang diupah oleh Abdul Razak) K. Balasubramaniam dan pembantunya K. Suraskumar turut ditahan reman atas alasan yang sama.

Zainol dalam jawapan turut menyatakan bahawa sebenarnya Azilah telah pergi ke Balai Polis Brickfields seperti yang diarahkan sebelum dia ditahan pada 1 November 2006.

Saksi itu akan menyambung keterangannya esok.

Prosiding perbicaraan yang dimulakan pada 9.15 pagi hanya didengar selama satu jam sebelum Hakim Mohd. Zaki menangguhkan sidang bagi membolehkan mahkamah membuat lawatan ke tempat kejadian.

Perbicaraan bersambung esok.

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Hello world!

Posted on Februari 16, 2007. Filed under: Uncategorized |

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...